Thursday, November 26, 2009

Ketika kenikmatan mulai berkurang

Hari itu hari ke 17 bulan ramadhan  berarti ummat Islam berpuasa, sudah beberapa tahun ini aku berpuasa jauh dari tanah air, tentu saja kangen dengan kebiasaan berbuka di tanah air, tak ada kolak pisang, es cendol, atau gorengan.

Hari hari berbuka dijalani seperti biasanya tanpa ada kemeriahan semaraknya ramadhan, untungnya kedua putraku tidak menuntut yang macam-macam seperti kebiasaan berbuka sewaktu ditanah air.

Mereka menikmati hidangan apa saja yang tersedia dimeja makan, tanpa protes atau banyak tanya, Alhamdullilah ternyata mereka mengerti bahwa bukan saatnya sekarang untuk mempertanyakan soal hidangan berbuka, bisa sekolah dengan baik itu sudah suatu kemurahan tersendiri dari Allah.

Kemaren hari sabtu , seperti biasanya kedapur dan mendapati hampir sebagian besar kebutuhan dapur sudah menipis, maka aku kunjungi store terdekat, tepatnya store yang kebanyakan menjual kebutuhan bagi orang mexico, namanya “mie pueblo”. Mulailah aku mencari apa yang kubutuhkan,  ech..ada mangga, bentuknya seperti mangga dermayu, cuma warnanya hijau kemerahan, selintas mirip warna mangga gedong kalau masih muda kali ya……tapi yang ini sudah matang, lumayan pengobat rindu 3 buah $.99, lalu menyelusuri lorong khusus sayur mayur….ech ada ubi merah,yang kebayang dibikin campuran rujak, tapi disini gak ada cabe rawit…mau dimakan pake apa? Ach enggak apa2 ambil aja 2 biji yang agak besar mau dibikin apa urusan nanti…. he he he ini kebiasaan jelekku kalau lagi belanja..meski sekarang sudah banyak berkurang ( lapar mata).

Sambil tetap berjalan mata menjelajah dan ech ada gula jawa, cuma yang ini tidak dibuat dari aren, kelihatannya dibuat dari tebu atau apa ya, soalnya dari baunya tercium bukan gula aren.

Yach sudahlah entar dirumah dipikirin mau diolah jadi apa dan kuambil 4 buah, kalau banyak2 entar takut kalau-kalau rasanya gak enak.

Setelah semua kebutuhan yang kucari didapat maka kutenteng belanjaan keluar dari store dan kembali ke rumah.

Setibanya dirumah aku bingung……. enaknya itu ubi diapain ya? coba dech longok lemari dapur kira2 bisa dijadiin apa?. Selintas aku melihat sebungkus tepung sagu yang masih belum disentuh, kapan belinya aku gak tau…. mungkin waktu itu karena lihat ya dibeli aja, meski belum butuh, sebab jarang2 bisa nemu bahan2 masakan dewe dinegeri orang ini.

Akhirnya terlintas didepan mata, hm…. mungkin enak kali ya kalau ubi nya dijadiin biji salak, entah kenapa itulah yang terbayang didepan mata padahal waktu ditanah air, seumur-umur aku belum pernah makan biji salak.. he he he aneh kan?

Setelah berkutat selama kurang lebih 3 jam, maka sepiring bubur/kolak (entahlah apa nama yang tepat aku gak tau) biji salak terhidang dimeja makan.

Dari penampilannya sungguh sangat menggiurkan…bikin air liur menetes pingin segera mencicipi.

Alhamdullilah anakku bilang rasanya enak ………………ternyata hasil kerja kerasku tidak sia-sia.

Tiba saat berbuka……. saat untuk mencicipi kerja kerasku didapur….. hmmmm entahlah, karena aku gak pernah makan bubur/kolah biji salak aku gak punya acuan untuk membandingkannya, mungkin rasanya memang begitu atau enggak wallahu a’lam, yang jelas hidangan sudah jadi.

Kembali pada diriku, ada yang aneh….. ternyata bukan cuma kali ini, tapi sudah sering kali aku merasakan keganjilan pada diriku, ya mungkin ini yang namanya  peringatan dini, semua makanan apapun itu rasanya tidak senikmat sewaktu aku masih kecil, meski cuma sepotong singkong rebus, rasanya nikmat sekali………… tapi kok sekarang lain ya, sepertinya indera perasaku sudah mulai tidak sensitiv lagi atau Allah sudah mulai mengurangi kenikmatan itu sedikit demi sedikit.

Aku jadi teringat perkataan ibuku dulu, duluuuuu sekali waktu aku masih kecil, ketika kami anak2nya dengan lahap menyantap apa saja yang beliau hidangkan dan merasa enak-enak saja, meski tidak mungkin hidangannya kurang garam atau kebanyakan garam he he he, maklum masih kanak-kanak.

Dan ibuku berkata…. nanti kalau kamu sudah setengah tua, maka kamu bisa merasakan bahwa kamu mulai jadi selektif dan gak semua makanan terasa enak atau nikmat dilidah, mulai cerewet, ini gak enak, itu gak enak, ini gak ada rasa alias hambar, makanan yang itu keasinan ubanpun mulai memenuhi sebagian kepala dan waktu terasa berjalan cepat sekali, sepertinya sehari semalam itu cuma sekerdipan mata saja, baru saja tidur ech sudah harus bangun dan sholat subuh lagi. Mulanya aku cuma senyum2 saja mendengar ucapan ibuku, mana mungkin sich wong puasa sehari dari sahur sampe berbuka rasanya lamaaaaa sekali, setiap 30 menit sekali  melirik jam di dinding menunggu waktu berbuka, koq dibilang cepat seeech???
Dan ?????? inilah yang sekarang aku rasakan. Semua yang dikatakan ibuku itu ada pada diriku, yang dia bilang itu pertanda kiamat sudah dekat.


Lidah sudah tidak peka terhadap rasa makanan, semakin tua uban tumbuh dimana-mana, badan sudah mulai cepat cape, tidak seperti dulu lagi rasanya gak pernah lelah keluyuran seharian. Apakah yang dikatakan ibuku itu barangkali benar adanya atau tidak  Wallahu Allam bissawab.

Yang jelas ini memang suatu peringatan untuk diriku agar senantiasa memperbaiki diri sebelum saat itu tiba dan aku akan datang menghadapNya dengan muka menengadah bukannya menunduk  malu karena penuh dosa.( khulavez)

No comments:

Post a Comment